Setitis Rasa Dari Syurga

Farah Lye Yusoff


Remaja, zaman pergolakan, transisi, orientasi dari satu alam ke alam yang lain. Setiap manusia, sedar atau tidak, mahu atau tidak, tak akan terlepas dari menjejak kaki di platform ini. Jangkauan, kedudukan, skop, lingkungan, selalu menjadi alasan ke mana dan di mana perjalanan itu bermula dan menjadi gambaran di mana ia akan berakhir. Ada jiwa yang tua di waktu mudanya, ada jiwa yang muda dan tetap muda, ada pula yang tak mahu peduli tentang kewujudan jiwa itu sendiri.

Menjadi seorang dia bukanlah satu pilihan apalagi sesuatu yang direkacipta oleh minda yang terkeliru. Bukan juga kerana terdorong untuk muncul sebagai individu tertentu, jauh sekali untuk mencari perhatian demi merealisasi impian semu. Hipokrasi tak pernah terwujud dalam kamus seorang dia. Malangnya, itulah yang sekeliling tafsirkan tanpa mengevaluasi halaman demi halaman. Melulu interpretasi, mengabai realiti dan bukti. Logika disingkir lantaran lebih senang akur pada penafian integrasi tanpa menghargai kearifan rasional. 

Redup mengelilingi relung hati sewaktu resah mengusir kedamaian dari jiwa. Dia, aku, mereka, umum dalam beda. Namun, syukur, lingkungan di mana aku tidur dan jaga, berdiri, duduk, merangkak, berjalan, berlari, menangis dan tertawa telah melentur hati untuk bertafakur, menikmati apa yang aku pijak sedang kepala mendongak menginsafi apa yang jauh dari jangkauan mata.

Hati, terbuka rela menerima dan memberi,tanpa paksa. Tergoda ia dengan semulajadinya untuk menggeledah setiap ruang sempit agar kewujudannya tak disalah erti. Diri diacar untuk mengisi lapangan, agar tidak tersepit diperbatasan yang luas, agar terancang tiap fragment yang bertelingkah antara sesama.

Dia mengimbas sejenak serpihan-serpihan memori yang membawa senyum dibibirnya. Faham tentang kejahilan. Serentak itu dia menghembus nafas lega atas keutuhan jati diri. Terpantul syukur dari bibir yang hening dari kata-kata itu, bersinar lantaran kemengertian tanpa seorang pun yang mengerti. 
Lalu resolusi pun terhasil, setelah berjaya menawan provokasi ilusi yang enggan memisahkan hakiki dari materi.

Hanya beberapa kerdipan, tak lama, tidak pula terlalu meremas, kedewasaan mematangkan suara hati dan ia bukan lancung, tidak juga sama sekali mengakali. Redup yang mengepung relung hati bila gundah cuba untuk menguasai intelek, berganjak dari posisi lamanya.

Di situ mereka menikmati setitis rasa dari syurga, seterusnya mewajibkan diri untuk mengaitkan titik-titik itu lantas melebarkan sinar di segenap penjuru dan ruang, memekatkan kalimah sempurna yang tercetus dari kewarasan.

#buttons=(Accept!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!